Pelajaran dari Perjalanan ke Jepang 2017; Majelis Taklim Ibu-Ibu di Fuchu (bag 2)
|Pelajaran dari Perjalanan ke Jepang 2017; Majelis Taklim Ibu-Ibu di Fuchu (bag 2)
Hari ini, Kamis 31 Agustus 2017 adalah hari kedua kami di Tokyo dan merupakan hari Arafah karena bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah 1438 sehingga kamipun puasa Arafah.
Setelah sahur kami dijemput menuju Masjid Indonesia Tokyo (MIT) di Balai Indonesia-Tokyo di Meguro untuk melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah dilanjutkan kuliah ba’da Shubuh sampai waktu Syuruq dan ditutup dengan shalat Syuruq.
Materi kuliah ba’da Shubuh tentang berbakti kepada kedua orang tua beserta kisah-kisahnya dan alhamdulillah rekamannya sudah di upload di YouTube dan bisa disaksikan atau di download, ini link-nya;
Setelah itu kami kembali ke penginapan untuk istirahat sebentar dan persiapan menjadi pemateri Majelis Taklim Ibu-Ibu di Fuchu.
Perjalanan menuju Fuchu menempuh waktu lebih dari satu jam dan alhamdulillah kami sampai menjelang Dhuhur.
Ibu-ibu sudah berkumpul menunggu kedatangan kami dan memanfaatkan waktu dengan membaca terjemah Al-Qur’an secara bergantian.
Ketika kami datang ibu-ibu masih melanjutkan sedikit lagi pembacaan terjemah Al-Qur’an kemudian meminta kami agar menjelaskan tafsir singkat beberapa ayat yang telah dibaca sambil menunggu masuknya waktu Dhuhur. Acara bertempat di rumah Ibu Tiara Arai.
Setelah masuk waktu Dhuhur kami shalat berjama’ah kemudian melanjutkan kajian dengan tema “Pendidikan Anak Dalam Islam” dan “13 Tangung Jawab Orang Tua Terhadap Anaknya”. Materi yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga terutama bagi yang tinggal di wilayah minoritas muslim.
Ibu-ibu peserta majelis taklim semuanya bersuamikan laki-laki asli Jepang yang muallaf dan hampir semuanya mempunyai problem rumah tangga yang sama.
Mereka dahulu menikah ketika masih awam belum mendalami agama dan calon suaminya masuk Islam ketika hendak menikahi mereka.
Permasalahannya adalah ketika para istri sudah mulai mendalami agama sedangkan para suami yang muallaf tadi masih kurang serius dalam berislam; shalat masih berantakan, tetap meminum khamer dan pelanggaran lainnya.
Disinilah terjadi pergolakan batin yang dahsyat karena menyangkut hukum pernikahan, pendidikan anak dan bahkan surga dan neraka.
Sungguh ini adalah pengalaman baru bagi kami dan kasus baru yang harus dicarikan solusi bijak dalam menyelesaikannya.
Jujur, selama ini dalam menghukumi orang meninggalkan shalat yang meyakini kewajiban shalat namun meninggalkan shalat karena malas kami cenderung mengikuti madzhab Hambali yang menurut kami dalil-dalilnya cukup kuat dan mantap, yaitu hukumnya kafir.
Kalau fatwa ini diterapkan kepada ibu-ibu di Fuchu dan juga ibu-ibu lainnya yang jumlahnya cukup banyak dengan kasus yang sama berarti akan terjadi perceraian masal, karena seorang wanita muslimah tidak boleh menjadi istri laki-laki kafir.
Dari sini kami harus berfikir kembali tentang fatwa tersebut karena fatwa bisa berubah sesuai perubahan situasi dan kondisi. Sebagaimana Imam Syafi’i Rahimahullah merubah hampir semua fatwanya setelah berpindah dari Iraq menuju Mesir sehingga dalam madzab Syafi’i dikenal ada qaul qadim (pendapat lama ketika di Iraq) dan qaul jadid (pendapat baru ketika di Mesir). Ini bukan plin plan, akan tetapi inilah sikap bijaksana menempatkan sesuatu pada tempatnya karena ilmu itu luas ibarat lautan tak bertepi.
Kami berpesan kepada ibu-ibu di Fuchu dan lainnya agar bersyukur kepada Allah karena telah mendapatkan hidayah untuk mendalami agama sebagai bekal kehidupan dunia akhirat, dan agar bersabar dalam menyikapi para suami dengan senantiasa membimbing, membina dan menuntun mereka agar mengamalkan agama Islam dengan baik dan benar.
Pesan kami juga, agar ibu-ibu tetap menghormati para suami, tanpa merendahkan mereka karena merasa telah mengerti agama sedangkan para suami masih tetap awam, belum mengamalkan agama dengan baik dan benar.
Inilah saatnya ibu-ibu yang telah mendapat hidayah untuk berdakwah kepada para suami dan keluarga mereka dengan mengedepankan akhlakul karimah dan menampilkan citra baik agama Islam yang menjadikan orang semakin tertarik kepada Islam.
Jangan sampai timbul kesan bahwa para istri yang telah mendapat hidayah itu kecenderungannya adalah meremehkan para suami yang masih belum mendapatkan hidayah sehingga para suami tidak suka kalau istrinya ikut kajian karena dianggap akan menjadikan istrinya buruk akhlaknya dan bukannya semakin baik akhlaknya. Kasus seperti ini sering terjadi !
Semestinya para istri yang telah mendapat hidayah itu semakin baik akhlaknya kepada suaminya, semakin baik pelayanannya dan semakin memuaskan suaminya sehingga para suami semakin senang ketika istrinya aktif mengikuti kajian dan bahkan suaminya-pun akan mudah untuk diajak ikut kajian dan pada akhirnya suami istri itu menjadi mengerti masalah agama dan rumah tanggapun menjadi sakinah, mawaddah, wa rahmah, sehidup sesurga.
Semoga ibu-ibu istiqamah dalam kebaikan; Ibu Tiara, Ibu Widya, Ibu Nunik, Ibu Nilas dan Ibu-Ibu lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Terima kasih sudah mau mengundang kami untuk berbagi ilmu dan pengalaman, Jazakumullah Khaira Wa Barakallah Fiikum.
Setelah selesai kajian kami-pun diantar menuju ke Masjid Indonesia Tokyo untuk buka bersama atau tepatnya ta’jil bersama.
Selama perjalanan kami ditemani oleh cuaca yang indah dengan hujan yang menyegarkan, alhamdulillah, puji syukur hanya untuk Allah.
Bersambung….
Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami